Rabu, 19 Desember 2007

Latar Belakang Reformasi


                                                  Reformasi


 Pada awa era orde baru, Indonesia telah mencatat sejumlah
prestasi dalam bidang ekonomi yakni adalah sebagai “ Macan Dari Asia ” . Bahkan menurut Emil Salim (Ekonom Indonesia) menyatakan bahwa indeks biaya hidup di Indonesia antara tahun 1960-1966 naik 438 kali lipat. Pada saat itu pemerintah menggulirkan kebijakan deregulasi dan debirokratisasi untuk menyelamatkan ekonomi negara dengan membuka diri untuk penanaman modal asing. Secara bertahap karena dengan begitu inflasi dapat dikendalikan perlahan-lahan mulai dari 650 persen (1966) hingga terkendali 13 persen (1969).
Kini prestasi yang membanggakan itu legam. Badai krisis yang bermula dari Thailand kini menular ke perekonomian Indonesia. Presiden kita Pak Harto pun kini tidak bisa duduk dengan nyaman, akhirnya dengan disaksikan oleh Direktur Pelaksana Dana Moneter Intersional (IMF) , Michel Camedessus , menyaksikan penandatanganan surat perjanjian yang dilakukan oleh Presiden Soeharto. Awal tahun 1998 dibuka dengan kurs rupiah hingga Rp 17.000,- per dolar AS. Utang Indonesia kepada luar negri pada saat itu sebesar Rp 2.300 triliun . Dan akhirnya Soeharto pun menaikkan harga BBM, listrik dan bahan-bahan pokok yang merupakan permulaan dari kesengsaraan rakyat.
Pada akhirnya praktek KKN tersebut jualah yang membawa Soeharto turun dari tahtanya pada tahun 1998. Gerakan mahasiswa, yang menyuarakan reformasi, sejak tahun 1997 merupakan akumulasi dari kekecewaan terhadap kinerja rezim Orde Baru. Krisis ekonomi yang muncul pada tahun 1997 merupakan wujud dari kebijakan-kebijakan ekonomi Orde Baru yang sarat dengan KKN serta ketergantungannya pada modal asing dan utang. Pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) adalah salah satu agenda yang diperjuangkan oleh gerakan reformasi 1997. Pemberantasan ini bermakna mengusut praktek KKN yang telah dilakukan oleh Soeharto dan kroninya di masa Orde Baru serta menciptakan pemerintahan yang bersih dari KKN di masa yang akan datang. Beberapa perangkat hukum yang mengatur soal pemberantasan dan menciptakan aparat pemerintahan yang bersih ini segera dibuat oleh Habibie saat ia naik menjadi presiden menggantikan Soeharto. Beberapa peraturan tersebut adalah;
1. TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN.
2. UU No. 28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN.
3. Inpres No. 30 tahun 1998 tentang pembentukan komisi pemeriksa harta pejabat.
4. Gagasan pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi.


Berdasarkan TAP No XI/MPR/1998 Habibie sebenarnya mendapat mandat untuk melakukan pemberantasan korupsi dan pengusutan KKN Soeharto sesegera mungkin. Namun entah apa yang menjadi alasan, bukti untuk menyeret Soeharto ke pengadilan tak jua ditemukan. Laporan yang dimuat dalam majalah Time, tentang kekayaan Soeharto dan keluarganya, tak cukup menjadi modal untuk menyeretnya ke pengadilan. Yang ada justru penghentian penyelidikan kasus tersebut. Oleh karenanya langkah pencabutan SP3 Soeharto yang dilakukan oleh Jaksa Agung yang baru, Marzuki Darusman, membawa sedikit harapan terhadap upaya pengusutan dan pemberantasan korupsi di
Indonesia. Kemampuan pemerintah untuk menuntaskan perkara Soeharto ini akan menjadi batu ujian, untuk membuktikan bahwa rezim yang baru ini memang berniat untuk melakukan pemberantasan korupsi.
KASUS mantan presiden RI, Soeharto, yang diendapkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono (tapi Jaksa Agung telah memutuskan untuk menghentikan proses hukum pidana-nya), telah memunculkan berbagai reaksi dari masyarakat. Kebijakan menghentikan kasus hukum Soeharto sekaligus mengampuninya, dianggap telah menginjak -injak rasa keadilan dan perjuangan reformasi. Padahal, perjalanan reformasi bukanlah perjalanan yang mudah, apalagi murah. Reformasi harus mendaki jalan terjal, berliku dan membayar mahal perubahan yang diidamkannya.
Tragedi Trisakti telah menewaskan empat orang mahasiswa, Hery Hartanto, Hafidhin Royan, Hendriawan Sie, dan Elang Mulia Lesmana. Tidak sampai di situ saja, perjuangan mahasiswa dalam menegakkan pemerintahan dan sistem yang demokratis, termasuk pengadilan terhadap mantan presiden Soeharto, berujung pada Tragedi Semanggi. Lagi, reformasi menuntut bayaran yang teramat mahal, korban mahasiswa semakin banyak berjatuhan.
Saat ini, tanpa terasa, perjalanan reformasi telah memasuki usia sewindu, tapi tampaknya mantra reformasi telah kehilangan kesaktiannya. Bayangkan saja, terlepas dari berbagai kemajuan yang telah dicapai, seperti kebebasan pers, sistem kepartaian, pemilu, dan sebagainya, bangsa ini masih menghadapi ujian berupa amanat reformasi yang masih menggantung di awan tinggi. Ini tampak dari kasus penembakan mahasiswa Trisakti yang sampai saat ini belum bisa menyibak tabir siapa pelaku sesungguhnya.
Yang paling baru adalah pemberhentian kasus pengadilan terhadap mantan presiden RI, Soeharto. Padahal, salah satu amanat reformasi yang diteriakkan oleh mahasiswa dan kaum pro-Reformasi delapan tahun lalu adalah pengadilan terhadap Soeharto. Hal ini kemudian tertuang dalam Tap MPR No XI/MPR/1998, yang intinya merupakan amanat menjalankan tuntutan reformasi berupa penyelenggaraan negara yang bersih dari korupsi kolusi nepotisme (KKN), termasuk pengusutan terhadap mantan presiden Soeharto.
Kebijakan pemerintah yang memutuskan untuk memberhentikan proses persidangan dan memberikan pengampunan kepada Soeharto, dapat disimpulkan sebagai pengingkaran terhadap amanat reformasi, sekaligus pengingkaran terhadap negara hukum yang menganut rule of law, not of a man.
Kasus Soeharto
Bekas presiden Soeharto diduga melakukan korupsi di tujuh yayasan (Dakab, Amal Bakti Muslim, Supersemar, Gotong-Royong, Trikora, Pancasila, Dana Sejahtera Mandiri) senilai Rp 1,7 triliun. Sejak awal, kasus korupsi yang dilakukan oleh Soeharto ini memang kental dengan aroma politis. Bahkan sampai pekan terakhir, elite-elite politik yang memberikan pengampunan terhadap Soeharto, nuansa politik terasa begitu dominan. Seolah-olah, suatu keadilan ditetapkan oleh para politisi. Inilah sebenarnya yang sangat disayangkan. Aspek kemanusiaan dan kesehatan yang dikedepankan oleh pemerintah beserta elite-elite politik lainnya, merupakan cerminan dari lemahnya argumentasi hukum serta merupakan usaha mencari simpati publik agar berempati dan mau mengampuni Soeharto.
Tidak cukup sampai di situ, argumentasi yang lain pun dibangun, yaitu untuk menghormati jasa-jasa Soeharto. Ada lagi yang berpendapat bahwa penutupan kasus ini merupakan upaya terobosan hukum. Ngawurnya lagi, kasus Soeharto ini pun kemudian dicampurbaurkan dengan kasus mantan presiden RI pertama, Soekarno. Padahal, persoalan keduanya memiliki latar belakang masalah yang berbeda, termasuk juga substansi persoalan yang sama sekali berbeda.
Sebagai negara yang berhaluan Pancasila, warga masyarakat yang ramah serta gemar gotong-royong, tentu saja banyak masyarakat kita yang dapat memaafkan mantan presiden Soeharto. Tidak ada dendam amarah yang disimpan, meski banyak rakyat kita menjadi korban selama rezim Orde Baru berkuasa. Jadi letak persoalan-nya bukan itu. Pokok persoalannya justru karena kta negara hukum, dan salah satu fungsi hukum adalah untuk menciptakan keadilan, maka kita tidak dapat berbuat sesuka hati, hanya karena sedang berkuasa. Mochtar Kusumaatmadja (2002:6) mengilustrasikan hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, tapi kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman. Hukum dan prosesnya haruslah dihormati. Ini tercantum dalam amendemen IV UUD'45, bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Ini berarti, hukum haruslah ditegakkan, betapa pun pahitnya, betapa pun langit runtuh sekalipun (fiat justitia et preat mundus).
Kasus KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) telah menjadi salah satu agenda utama reformasi. Tingkatannya telah menjadi extra ordinary crime. Bahkan salah seorang mantan anggota Komisi Konstitusi, Krisna Harahap, pernah mengusulkan agar UUD'45 memuat soal agenda pemberantasan korupsi sebagai salah satu tugas utama presiden, sebagai berikut, "Korupsi adalah perbuatan hina dan tercela, pelakunya merupakan pengkhianat negara sehingga harus dihukum seberat-beratnya dan merupakan tugas utama presiden untuk memberantasnya". Meski pada perjalanannya kemudian usul tersebut belum berhasil, tapi kita dapat menangkap esensi dan semangat pemberantasan korupsi, yang telah menjadi kejahatan luar biasa, sehingga penanganannya pun harus luar biasa pula.
Pengampunan yang dilakukan oleh pemerintah ini akan memperpanjang daftar salah urus negara kita. Sejak tuntutan reformasi bergulir, Soeharto tidak pernah mempertanggungjawabkan segala kebijakannya selama ini secara kenegaraan. Masih membekas dalam memori kolektif bangsa, bagaimana pada tanggal 21 Mei, Soeharto secara 'kekeluargaan' menyerahkan tampuk kepemimpinannya kepada anak politiknya, Habibie. Praktis, sampai saat ini Soeharto belum pernah sekali pun bertanggung jawab kepada publik. Padahal, tiap-tiap kekuasaan haruslah diikuti dengan pertanggungjawaban (geen macht zonder veraantwoodelijkheid). Rasa keadilan (sense of justice) kita terusik. Nilai-nilai keadilan telah diporak-porandakan. Tiadanya pertanggungjawaban telah melanggar prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
Kebijakan pengampunan Soeharto semakin menampakkan gejala rule of power (kedaulatan kekuasaan) dan bukan kedaulatan hukum (rule of law). Seharusnya, dalam reformasi ini, kekuasaan dipimpin oleh nilai-nilai hukum (nomocracy), yang berarti harus dijalankannya the rule of law, and not of man. Karena itu, negara yang menganut demokrasi berdasarkan hukum dikenal dengan democracy under the rule of law (democratische rechstaat).
Jadi, adalah wajib hukumnya, siapa pun yang memerintah, apa pun partai yang berkuasa, pemerintah harus tunduk pada hukum (under to the law), bukan di atas hukum (above the law).
Kalau kita menengok kembali ke belakang, arak poster, spanduk, yel-yel keberpihakan terhadap rakyat dan rasa keadilan yang dikumandangkan serempak tahun '98 yang lalu, harus dimaknai sebagai konsensus nasional yang pernah kita sepakati dengan semangat yang menggelora di dalam dada. Saat ini, ketika proses reformasi (untuk yang kesekian kalinya) dinjak-injak, konsensus nasional dilanggar, hukum dikesampingkan dan rasa keadilan ditertawakan oleh pihak penguasa, semua kembali kepada rakyat Indonesia. Apakah akan membiarkan perjuangan delapan tahun lalu berlalu begitu saja, atau terus 'membatu' dengan keyakinan reformasi total, seperti dulu tahun '98.



Tidak ada komentar: